Untuk mengatasi krisis iklim, banyak negara menetapkan target zero carbon pada 2050. Namun, apakah ambisi ini realistis di tengah tantangan global yang begitu kompleks?
Zero carbon berarti mengurangi semua emisi karbon hingga nol bersih, dengan sisanya diimbangi lewat teknologi penyerapan karbon. Transisi ini membutuhkan transformasi besar di sektor energi, transportasi, dan industri.
Negara maju seperti Uni Eropa dan Jepang sudah melangkah lebih jauh dengan investasi masif di energi terbarukan. Namun, negara berkembang menghadapi hambatan serius: biaya tinggi, infrastruktur minim, dan ketergantungan pada energi fosil.
Konflik kepentingan juga menjadi penghalang. Industri batu bara menolak perubahan, sementara sektor energi hijau belum sepenuhnya siap menggantikan. Jutaan pekerja di industri lama khawatir kehilangan pekerjaan.
Selain itu, pendanaan global menjadi isu besar. Negara maju diminta menanggung lebih banyak biaya transisi, tetapi komitmen mereka sering tidak konsisten.
Meski begitu, tekanan publik makin kuat. Bencana iklim yang semakin sering membuat masyarakat menuntut aksi cepat. Generasi muda menjadi motor utama gerakan lingkungan global.
Zero carbon adalah ambisi mulia, tetapi juga ujian solidaritas dunia. Jika hanya segelintir negara yang mampu, hasilnya tidak akan maksimal.
Pertanyaannya: bisakah dunia bersatu dalam menghadapi krisis iklim, atau ambisi ini hanya akan jadi slogan politik?